Guru yang baik memahamkan anak didik dan selalu mencari cara untuk mengantarkan anak faham. Dia juga memperhatikan tingkah laku anak tersebut. Tidak segan mengingatkan jika ada kalanya menyimpang. Kebaikan yang diharapkan adalah ilmiah dan amaliah. Keduanya berpadu.
Tata cara mendidik adalah sekumpulan tehnik penting yang harus diketahui oleh guru. Sepintar apapun guru jika kemampuan menyampaikan ada kendala, maka target ideal penyampaian akan tidak sempurna.Maka penting bagi guru untuk mengoleksi seperangkat cara menjadi guru yang baik.
Berbicara tentang guru, teringat seorang penulis kenamaan, Ibnu Jam’aah. Penulis buku Tadzkirotus Sami’ wal Mutakalim. Buku monumental yang mewarnai pendidikan hingga menjadi corak sejalan dengan ajaran Nabi. Kelebihannya ringkas.
Muhammad Mahdi Al-‘Ajmi menjelaskan,” Kata-katanya sedikit, namun mengandung makna sangat banyak. Jika buku ini dibandingkan dengan buku-buku yang sama di bidangnya, maka ia menjadi tali simpul dan penopang mahkotanya. Buku ini ringkas, namun isinya tidak kalah dengan buku-buku yang tebal. Oleh karena itu, fokuskanlah hati Anda kepadanya, buatlah pandangan Anda gembira ketika melihatnya, dan berjalanlah di atas manhajnya.
Siapa Ibnu Jamaah
Dia bernama Abu Abdullah bin Badruddin Muhammad bin Ibrahim bin Sa‘dillah bin Jama‘ah bin Ali bin Jama‘ah bin Hazim bin Shakhr Al-Kinani Al-Hamawi Asy-Syafi‘i. Dia lahir pada petang hari Jumat 4 Rabi‘ul Awwal 639 H. Dia tumbuh di sebuah rumah yang sangat memperhatikan ilmu, agama, dan keadilan. Bapaknya yang bernama Burhanuddin Ibnu Jama‘ah (wafat 675 H) adalah seorang qadhi (hakim) dan ahli ilmu. Demikian pula dengan kakeknya. Dia belajar Al-Qur’an kepada bapaknya sendiri. Dia banyak memiliki hafalan dan menguasai matan.
Pendidikan Yang Dijalani
Ketika beranjak dewasa, dia belajar kepada gurunya para guru di Hama, yaitu Syarafuddin Abdul Azis Al-Anshari (wafat 662 H). Dia juga belajar kepada Ar-Ridha ibnul Burhan (wafat 554 H), Ar-Rasyid Al-‘Aththar (wafat 662 H), At-Tajj ibnul Qasthalani (wafat 665 H), Attaqi ibn Abul Yusr (wafat 672 H), dan lain-lain.
Dia banyak belajar berbagai macam ilmu kepada Al-Qadhi Taqiyuddin bin Razin (wafat 680 H). Dia belajar ilmu nahwu kepada Imam Malik (wafat 672 H).
Dia fokus dan bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu sehingga harus berpisah dengan kerabat dan para sahabatnya. Dahulu fatwa-fatwa Ibnu Jama‘ah disampaikan kepada Imam An-Nawawi. Imam An-Nawawi pun mengakui bahwa jawabannya bagus. Keutamaan Ibnu Jama‘ah mulai terlihat sehingga dia diangkat menjadi seorang qadhi di Yerusalem pada 675 H dalam usia relatif muda. Kemudian dia dibebastugaskan, lalu dikembalikan pada jabatan semula sebagai qadhi Yerusalem pada 687 H. Pada waktu bersamaan, dia juga diangkat sebagai khatib di sana.
Alamuddin Al-Barzali (wafat tahun 739 H) rahimahullâh menyebutkan para masyayikh Ibnu Jama‘ah dalam jumlah yang sangat banyak. Buku tersebut diterbitkan dua jilid oleh penerbit Dâr Al-Gharb Al-Islâmî dan ditahqiq oleh Dr. Muwaffaq bin Abdillah bin Abdil Qadir waffaqallâhu.
Profesi Semasa Hidupnya
Dia terus menekuni profesi tersebut hingga dipindahtugaskan ke Mesir. Pada 690 H, dia diangkat sebagai qadhi negeri Mesir, juga sebagai khatib di Masjid Jami‘ Al-Azhar. Dia kemudian dibebastugaskan pada 693 H. Pada tahun itu juga, dia diangkat menjadi qadhi di Syam, kemudian dibebastugaskan pada 696 H. Selanjutnya dia diangkat lagi pada 699 H sekaligus sebagai khatib dan guru besar. Ketiga jabatan di atas belum pernah dipangku sekaligus oleh seorang pun sebelumnya.
Dia memegang ketiga jabatan tersebut hingga Syekh Taqiyyuddin ibn Daqiqil ‘Id meninggal dunia pada 702 H. Dia lalu dipindahtugaskan ke Mesir sebagai qadhi. Jabatan itu diembannya hingga tahun 710 H. Selanjutnya dia dibebastugaskan, kemudian diangkat lagi pada 711 H. Dia terus menjabat hingga penglihatannya buta pada 727 H, kemudian dibebastugaskan.
Sekalipun kiprahnya dalam dunia peradilan sangat panjang, namun perjalanan hidupnya tetaplah terpuji. Dia akurat dan adil dalam menetapkan hukum, juga pribadinya bersih.
Kiprah Dalam Pendidikan
Terkait aktivitasnya dalam mengajar, dia memiliki andil sangat besar yang layak diapresiasi. Di Damaskus misalnya, dia mengajar di Al-Qaimariyah, Al-Adiliyah Al-Kubrâ, Asy-Syâmiyah Al-Barrâniyah, dan lain-lain. Di Kairo, dia mengajar di Ash-Shâlihiyah, An-Nâshiriyah, Al-Kâmiliyah, Masjid Jami‘ Al-Hâkim, Masjid Jami‘ Ibnu Thulun, dan lain-lain.[1]
Jumlah muridnya sangat banyak, yang paling menonjol di antara mereka adalah putranya sendiri, Izzuddin (wafat 767 H), Ash-Shalah Ash-Shafadi (wafat 764 H), Syamsuddin Adz-Dzahabi (wafat 748 H), dan Tajuddin As-Subki (wafat 771 H).
Mengenai karya-karyanya, dia memiliki andil sangat besar dalam bidang ini. Di antara karyanya yang sangat populer adalah Al-Manhal Ar-Rawî, Al-Fawâ’id Al-Lâ’ihah min Sûrah Al-Fâtihah, At-Tibyân li Muhimmah Al-Qur’ân, Al-Masâlik fî ‘Ulûm Al-Manâsik, An-Najm Al-Lâmi‘ fî Syarh Al-Jawâmi‘, dan lain-lain.
Kepribadian Ibnu Jama’ah
Keberagaman karyanya menunjukkan sangat besar kiprahnya dalam berbagai bidang ilmu. Dia memang orang yang berpengetahuan luas dan cermat dalam menelaah masalah. Selain itu, dia adalah sosok yang wara‘ (menjaga diri dari dosa), berakal cerdas, berperilaku baik, beragama kuat, zuhud, ahli ibadah, dan ahli zikir.
Dia memiliki kepribadian sebagai pemimpin yang penyayang, lembut, tegas dalam membela kebenaran, serta pandai mendidik tanpa kekerasan dan tak pernah memalukan orang lain. Dia adalah sosok yang selalu berpenampilan rapi, berkulit putih bersih, berjenggot melingkar, berpakaian bagus, bersuara lembut, berjiwa tenang, dan berwibawa.
Akhir Kehidupan Ibnu Jama’ah
Setelah menjalani hidup dengan sederet keahliannya, Imam Ibnu Jama‘ah meninggal dunia pada malam Senin 21 Jumadal Ula 733 H. Semoga Allah selalu memberikan rahmat-Nya dan mengaruniakan pahala yang melimpah kepada Ibnu Jama‘ah.Biografi Tokoh Pendidikan Islam di Dunia, Ibnu Jamaah adalah diantara tokohnya.