Awal Sebuah Kisah
Cantik Itu Ada Batasnya, Bukan Segalanya. Kala itu ada wanita Mekah yang memiliki kecantikan yang sangat rupawan. Jelita wajahnya membuat lelaki terpesona. Lagak lagunya menggoda lelaki yang melihatnya. Hampir semua seiya dan sekata kalau perempan itu memang Allah karuniakan kecantikan yang di atas rata-rata. Cantik memikat luar biasa.
Dengan kecantikannya itu dia bermaksud menguji seorang ulama. Sebutlah Namanya Ubaid Ibnu Umair. Dia adalah seorang ulama kenamaan yang lahir semasa Rasulullah masih hidup. Dia adalah Ubaid bin Umair bin Qotadah al Laitsiy, seorang penceramah ahli tafsir dan juga seorang hakim di kota Mekah. Dia banyak mendatangi majlisnya Abdullah bin Umar.
Wanita itu merias diri dengan sedemikian rupa hingga memiliki daya tarik lebih dari biasanya. Kemudian ia langkahkan kakinya menemui Ubaid bin Umair. Pertemuan itu terjadi di Masjidil Haram. Masjid mulia tempat ibadah yang berlipat-lipat nilai pahalanya. Ia temui Ubaid di sana.
Dirinya berpura -pura sebagai orang yang hendak meminta fatwa kepadanya. Beralasan karena pentingnya permasalahan, dirinya meminta pindah ke pojok masjid. Tiba-tiba ia perlihatkan wajah dengan membuka cadarnya, yang tak ubahnya bak sinar rembulan.
“Wahai hamba Allah, tutuplah Kembali wajahmu,” kata Ubaid.
“Sesungguhnya aku suka padamu,” akunya.
Ubaid berkata,” Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu. Jika engkau mau membenarkannya, maka aku bisa membenarkan pernyataanmu itu.”
“ Tidaklah engkau mengajukan pertanyaan, melainkan aku pasti akan membenarkannya,” kata wanita itu.
“ Coba katakan kepadaku, andaikata malaikat pencabut nyawa datang untuk mencabut nyawamu, maka apakah engkau suka jika aku memenuhi apa yang engkau inginkan dariku?”
Tentu saja tidak,” Jawabnya.
Engkau benar,” Kata Ubaid. Lalu dia bertanya lagi,”Andaikata engkau sudah dimasukkan ke liang kuburmu dan engkau didudukkan untuk ditanya, maka apakah engkau suka jika akau memenuhi apa yang engkau inginkan dariku?”
“Tentu saja tidak,” Jawabnya.
“ Engkau benar, kata Ubaid. Lalu dia melanjutkan,” andaikan manusia sudah diberi buku catatan amalannya, dan engkau tidak tahu apakah engkau akan menerimanya dengan tangan kanan atau tangan kiri, maka apakah engkau senang jika aku memenuhi apa yang engkau inginkan dariku?”
Tentu saja tidak,” Jawabnya.
“Engkau benar,” kata Ubaid. Lalu dia melanjutkan,” Andaikan timbangan sudah didatangkan dihadapanmu, padahal engkau tidak tahu apakah timbanganmu berat atau ringan, maka apakah engkau suka jika aku memenuhi apa yang engkau inginkan dariku?”
“Tentu saja tidak,” jawabnya.
Engkau benar,” kata Ubaid. Dia melanjutkan ,” andaikan sudah berada di hadapan Allah untuk tanya jawab, maka sukakah jika aku memenuhi apa yang engkau inginkan darik?”
Tentu saja tidak,” jawabnya.
“Engkau benar,” kata Ubaid,lalu dia melanjutkan,” Bertakwalah kepada Allah, karena Allah tidak memberikan nikmat yang dan telah berbuat baik kepadamu.”
Kecantikan Yang Tak Berarti
Pernyataan Ubaid yang disampaikan kepada wanita itu mampu mematahkan rayuan mautnya. Ubaid adalah orang yang sangat menjaga pandangan. Ketika wanita itu membuka cadarnya, hingga tampak wajah jelitanya , buru-buru dia perintahkan agar segera menutupnya. Dia menyadari bahwa perkara ini akan mejadi dengan titik tolak yang berakibat fatal selanjutnya. Maka dia menutup perkara kecil yang menjadi pengantar fahisah pada masa berikutnya.
Wanita itu malah ngeyel, tetap pada pendiriannya, bahkan secara vulgar dia ungkpkan perasaan hatinya, “Sungguh aku suka padamu”. Satu pernyataan singkat namun mampu menghujam ke dalam hati paling dalam. Ketika Berpadu antara kecantikan , kelemah lembutan, gemulai lebih lagi ada kata sacral dalam hubungan laki- perempuan( aku suka padamu) , tentu ini menjadi arus yang makin deras untuk menggugah asmara bagi si lelaki. Cintanya akan bersambut dan menjadi-jadi. Itu yang dikendaki oleh si wanita.
Namun, ibarat memasang jebakan untuk seokor musang, namun di taruh di tengah lautan, maka mustahil musang didapat. Umpannya akan sia-sia, dan buruannya hampa tiada hasil. Itulah akhirannya. Parahnya jebakan itu mengenai dirinya. Jatuhnya sudah sakit masih tertimpa tangga lagi. Beruntun dalam sial!
Itulah liku-liku yang ditempuh si wanita itu, hasratnya menundukkan sungguh menggebu , sayangnya kejadiannya berbalik.Dirinya tunduk patuh tiada berkutik di hadapannya. Itulah istimewanya si lelaki, Ubaid bin Umair. Kesalihan yang dimiliki dan mengkarakternya ajaran Islam ini, ajakan yang perpotensi cumbu rayu dan fahisah ini menjadi mentah, batal dan tertolak. Rencana itu gagal. Rayuannya tidak berfaedah; dingin tidak bersambut.

Kecantikan Itu Awal Kesombongan
Ternyata, wanita itu hanya ingin menguji lelaki yang kebal dari rayuannya. Namun dengan ayu wajahnya tidak mampu menggodanya. Maka si wanita merasa dengan segala kelebihan dalam urusan tampilan : bodi, face dan kelembutannya ia gunakan sebagai amunisi menaklukkan lelaki itu.
Awalnya adalah, Ketika dirinya memadang dirinya pada sebuah cermin, nampaklah kecantikan yang dimilikinya. Dia kagum dengan pesona dirinya. Dia anggap semua laki-laki akan kagum dan terpengaruh pada pesona yang dimilikinya.dia bertanya kepada suaminya,” Apakah kamu tahu ada seseorang yang memandang wajahku dan tidak terpesona?”
“Ya, aku tahu”, jawab suaminya
“Siapa dia?” wanita itu bertanya.
“Ubaid bin Umair,”jawab suaminya.
“Perkenankan aku untuk menggodanya.”
“Boleh,silahkan.”
Setelah mendapatkan restu dari suaminya itu, si wanita melangkah sesuai rencananya. Kemudian rencana itu dia lakukan hingga sampai di masjidil harom dan terjadi pembicaraan itu. Akhir dari rencana itu, si wanita itu tersadarkan. Premis-premis dari Ubaid bin Umair ini mengarahkan pada logikanya untuk memahami hakikat kehidupan. Dengan kemolehan yang dimiliki, dia disadarkan apakah masih peduli ketika dia berurusan dengan Allah Ta’la. Bagaimana dihadapkan kematian, pertanyaan kubur, cataatan amal dll. Hingga akhirnya si wanita sadar seutuhnya.
Pasca kejadian itu, si wanita pulang ke rumah dan merubah semuanya. Dia menjadi ahli ibadah. Shalat, puasa dan amal-amal shalih lainnya dia tekuni. Dirinya mendekat sedekat-dekatnya dengan Allah .Sang suami mengatakan,
“Ubaid bin Umair telah merusak istriku. Dulu setiap malam dia seperti pengantin baru, lalu kini tak ubahnya seorang rahib wanita.”

Keshalihan Menundukkan Pintu Nista
Kekuatan spiritual yang baik dibarengi dengan kematangan pemahaman islam mampu mengatarkan Ubaid bin Umair lolos dengan sukses dalam menghadapi fitnah wanita. Fitnah yang hadir di depan mata itu ibarat hidangan, dia tinggal meraih dengan jangkauan tangan dan melahapnya. Namun dengan dekatnya kepada Allah, ia mampu meruntuhkan tipu daya cinta. Maka kepada Allah yang belum pernah kita melihat-Nya, kita perkuat tunduk kepada-Nya.
Pun juga, pelajaran yang baik adalah jangan sampai karunia yang baik; keelokan tubuh, jelita, dan keindahan pesona menjadi pangkal berbangga diri dan modal pameran. Letakkanlah di tempat yang layak. Insya Allah segala karunia itu akan bermanfaat bagi orang yang tepat. Karenanya rintislah budaya taat agar nilai lebih yang saat ini disandang akan tidak menjadi petaka di kemudian hari.
Raga hanya sementara. Ia akan binasa kala usia sudah tidak bersama dengannya. Yang mengantarkan bahagaia saat raga dirawat dengan tepat caranya, diaplikasikan dalam taat kepada-Nya. Daya Tarik dari raga akan menua. Ia akan berubah. Tak selamanya cantik melegenda. Karenanya kebaikan apapun yang ada hari ini, jadikanlah sebagai perantara taat kepada Rab Semesta.Cantik Itu Ada Batasnya, Bukan Segalanya
Disarikan dari Raudhatul Muhibin