Oleh: Fadia Nurul Aftika
Seorang Guru dan Potensi Kesombongan. Manusia tidak bisa lepas dari kekurangan, namun manusia bisa menjadi mulia disisi-Nya jika manusia itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah ialah orang paling bertaqwa di antara kamu”.(Q.S. Al-Hujurat: 13). Begitu juga dengan guru , ia hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kelemahan, kesalahan juga kekhilafan ,ketika berada di depan peserta didiknya. Karena takwa menjadikan dia istimewa.
Jalan Kesombongan Seorang Guru
Guru merupakan seorang pengajar bagi peserta didik yang memiliki tugas untuk menyampaikan suatu ilmu pengetahuan, di mana kedudukannya dalam bidang ilmu dapat dikatakan lebih tinggi daripada peserta didik. Hal tersebut, tidak memungkiri seorang guru dapat bersikap sombong dengan ilmunya dan kelebihan yang telah Allah Ta’ala anugerahkan kepadanya.
Sifat sombong merupakan akhlak yang tercela. Hendaknya bagi seorang guru untuk menyucikan kondisi lahir dan batinnya dari akhlak tercela tersebut. Sebab, ia merupakan pintu gerbang segala keburukan, bahkan merupakan keburukan itu sendiri. Ilmu akan menghindar dari orang yang sombong dan selalu merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain.
Hakikat Kesombongan
Hakikatnya, sifat sombong merupakan fitrah yang sudah muncul sejak manusia lahir. Namun, ada baiknya seorang manusia bersikap tawadhu (rendah hati). Sombong adalah sifat manusia yang memandang dirinya berada di atas kebenaran. Agama Islam sangat melarang sifat ini; hal ini karena dapat merugikan diri pelakunya. Hal ini sebagaimana yang telah Allah jelaskan dalam Al Qur’an:
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ
“ Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri”.
Syaikh Utsaimin menyampaikan dalam kitabnya yang berjudul “Kitab al-‘Ilmi” bentuk kesombongan adalah menganggap rendah orang yang telah memberi masukan kepadanya. Ia selalu menganggap apa yang dia ucapkannya benar, sedangkan orang lain salah. Orang yang bersifat sombong biasanya gila pujian, Jika mengetahui banyak orang memujinya, ia girang bukan main dan bertambahlah keangkuhannya.
Sikap Orang Berilmu
Oleh karena itu seorang alim yang memiliki pengetahuan agama yang baik, tidak selayaknya bersikap seperti orang kaya, di mana setiap kali bertambah hartanya bertambah pula kesombongannya. Mestinya, setiap kali bertambah ilmu bertambah pula tawadhunya (rendah hati). Seperti halnya Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat, mereka senantiasa tawadhu pada kebenaran dan kepada sesama.
Rasulullah ﷺ memberikan peringatan keras kepada orang-orang yang bersikap sombong dalam sebuah hadits:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong walaupun sebesar biji sawi”.
Bukti sikap tawadhu para sahabat yaitu, ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menjabat sebagai khalifah, ada seorang wanita yang berkata, “Abu Bakar kini telah menjadi khalifah, beliau pasti tidak akan mau membantu memerahkan kambing-kambing kita lagi!” Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu kemudian berkata, “Wahai saudariku, aku berharap semoga jabatan ini tidak menghalangiku untuk melakukan perbuatan baik yang pernah kulakukan sebelum menjadi khalifah”.
Jalan Keluar dari Kesombongan
Selanjutnya, di samping meneladani sikap Rasulullah ﷺ dan para sahabat. demikian juga terdapat beberapa obat agar seseorang terhindar dari sifat sombong di antaranya menyadari bahwa ilmu, pemahaman, kecerdasan, dan lain sebagainya merupakan karunia dari Allah dan amanah yang harus dia jaga sebaik-baiknya. Selanjutnya, menyadari bahwa semua makhluk tidak mampu memberikan manfaat dan mendatangkan madharat selama Allah Ta’ala tidak menetapkannya.
Ya Rabb, karuniakanlah kepada kami kerendahan hati, kelebihan dalam kemampuan, jabatan, kekuatan, dan kekuasaan laksana seonggok tanah yang tidak berharga, bukan sebagai kebanggaan dan perhiasan yang selalu menjadi sarana kesombongan dan keangkuhan. Aamiin. Seorang Guru dan Potensi Kesombongan.
Referensi:
- Merekalah Teladan Kita
- Educating For Character
- Tadzkirotu al-Sami’ wa al-Mutakallim fii Adabi al-‘Alim wa al-Muta’allim
- Shahih Muslim
- Kitab al-‘Ilmi