Untaian Petuah Pendidikan Ibnu Jama’ah #1

No comments
Untaian pendidikan Ibnu Jamaah
Untaian pendidikan Ibnu Jamaah

Seorang guru harus melengkapi dirinya dengan berbagai perangkat kelayakan sebagai seorang pendidik. Keilmuan yang luas dan penguasaan materi yang baik belum mencukupi sebagai bekal mendidik. Ada berbagai sisi yang perlu mendapatkan perhatian untuk meraih hasil yang baik dalam pendidikan.

Unsur -unsur yang harus mendapatkan perhatian itu akan dijelaskan dalam silsilah sederhana yang dinukilkan dari tulisan Ibnu Jama’ah dalam bukunya Tadzkirotus Saami’ Wal Mutakalim. Uraian pertama adalah berkaitan perkara yang harus diperhatikan seorang guru terhadap dirinya sendiri. Di antara perkara tersebut adalah

Merasa Diawasi Allah

Pertama kali yang mendapat perhatian menurut Ibnu Jama’ah adalah merasa bahwa Allah mengawasinya. Beliau mengatakan ,”Hendaknya merasa senantiasa diawasi oleh Allah Ta‘ala, baik dalam keadaan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Selalu menjaga rasa takutnya kepada Allah dalam setiap gerak-gerik, perbuatan, atau ucapannya. Sebab, dia merupakan orang yang dipercaya berdasarkan ilmu yang dititipkan kepadanya serta apa saja yang dikaruniakan kepadanya berupa pancaindra dan pemahaman.”

Menjaga Ilmu

Setelah menjelaskan tentang muraqabah beliau melanjutkan dengan perkara menjaga ilmu. Kemuliaan ilmu adalah penting, seorang guru tidak boleh menghinakannya. Ibnu Jama’ah menuliskan,” Hendaknya menjaga ilmu sebagaimana para ulama salaf menjaga dan mengamalkannya dengan kemuliaan dan kewibawaan yang telah Allah anugerahkan baginya. Oleh karena itu, orang alim tidak diperkenankan merendahkan ilmu dengan mengantarkannya kepada orang yang bukan ahlinya dari kalangan penghamba dunia tanpa alasan darurat atau kebutuhan yang mendesak, atau membawanya kepada orang yang mempelajarinya darinya meskipun dia memiliki jabatan dan kedudukan yang tinggi.

Zuhud

Bagi guru zuhud adalah sebuah sikap penting dalam memerankan sebagai seorang pendidik. Dalam amalnya sebagai pendidik, selayaknya mengaitkan dengan perkara akherat. Hingga mampu bersikap bahwa dunia adalah perantara menuju keabadian di akherat. Ibnu Jama’ah menyebutkan,”Hendaknya menghiasi dirinya dengan akhlak zuhud terhadap dunia dan hanya mengambil sedikit sesuai dengan apa yang dibutuhkannya, dengan tidak merugikan diri sendiri atau keluarganya. Mengambil bagian dunia sesuai dengan yang dibutuhkan dengan bersikap qanâ‘ah tidak termasuk perbuatan tercela dalam menyikapi dunia.

Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa derajat orang alim paling rendah adalah menjauhi sikap ketergantungannya kepada dunia. Sebab, dia merupakan orang yang paling mengetahui rendahnya nilai dunia, fitnahnya, kefanaannya, dan kepayahan dalam mencarinya. Oleh sebab itu, dia adalah orang yang paling berhak untuk memalingkan dirinya dari dunia dan tidak menyibukkan diri dengannya.

Memuliakan Ilmu, Tidak Untuk Mendapatkan Keuntungan Duniawi

Guru adalah orang yang mendapatkan warisan kenabian. Bukan dinar juga dirham. Bukan kekayaan duniawi . Kenabian telah berlalu, tapi warisan berharga masih ada , warisan itu adalah ilmu.

Beliau menjelaskan ,” Hendaknya memuliakan ilmunya dengan tidak menjadikannya sebagai tangga yang mengantarkan dirinya mendapatkan keuntungan duniawi berupa jabatan, harta, popularitas, ketenaran, pelayanan, atau keunggulan terhadap sahabat-sahabatnya.”

Menjauhi Pekerjaan Hina dan Menghindari Tempat yang Rentan Memunculkan Tuduhan Negatif

Di samping mendidik, guru juga bisa sambil bekerja . Guna mencukupi kebutuhan, bermaisyah itu tidak hina, bahkan mulia. Banyak para pendidik yang juga menjalani profesi tertentu.

Pada masa itu, saat buku penulisan buku  tadzkirah ini , beliau mengatakan,”Hendaknya menghindari pekerjaan yang rendah dan makruh secara adat dan syariat, seperti membekam, menyamak, jual beli mata uang, dan mengolah barang tambang. Demikian pula, hendaklah dia menjauhi tempat yang rentan memunculkan tudingan negatif, sekalipun tempat itu jauh.

Beliau menambahkan, “Selain itu, hendaklah dia tidak melakukan pekerjaan yang dapat mengurangi kewibawaannya atau sesuatu yang secara lahir diingkari –sekalipun secara batin diperbolehkan–. Yang demikian itu akan menyebabkan dirinya menyandang tudingan yang negatif, harga dirinya tercemar serta menyebabkan orang lain terperosok ke dalam kubangan prasangka yang tidak terpuji dan dosa mencela.

Selanjutnya beliau menekankan bahwa jikalau hal-hal di atas tak terelakkan lagi karena sebab tertentu, maka hendaklah dia memberi klarifikasi kepada siapa pun yang melihatnya dengan penuh hikmah, menjelaskan alasannya agar orang itu tidak berdosa (karena prasangka) dan tidak menjauhinya sehingga dia terhalang mendapatkan manfaat dari ilmunya, juga agar orang yang belum mengetahui dapat mengambil manfaat darinya. Oleh karena itu, Nabi SAW bersabda kepada dua orang laki-laki saat mereka melihat beliau berbincang dengan Shafiyah, lantas mereka menghindar,

عَلَى رِسْلِكُمَا . إنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ . ثم قَالَ : إنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ . وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيئًا، وروي: فَتَهْلَكَا

“Berhentilah! Wanita ini adalah Shafiyah.” Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya setan mengalir pada manusia melalui aliran darahnya. Saya khawatir setan menyusupkan sesuatu ke dalam hati kalian.”[1] Dalam riwayat lain disebutkan, “Sehingga kalian binasa.”[2]

Bersambung.

[1] HR. Al-Bukhari (2035), Muslim (2175) dari hadis Shafiyah radhiyallâhu ‘anhâ.

[2] Saya (penulis) tidak menemukan tambahan lafaz ini di dalam kitab-kitab hadis yang induk yang saya miliki. Wallahu a’lam.

Also Read

Bagikan:

Tags

Tinggalkan komentar